Tuesday 6 January 2015

Asisten Pribadi Kepala Sekolah???

Pagi tadi begitu sampai di sekolah aku langsung dikejutkan dengan keputusan yang menetapkanku sebagai asisten pribadi kepala sekolah. Kaget bukan main. Tapi jangan berfikir kalau hati ini berbunga-bunga layaknya para tokoh di sinetron. Aku justru merasa bingung. Apa keputusan itu tidak terlalu terburu-buru? Lalu apa pertimbangannya? Aku terus meragu. Merasa bahwa itu bukanlah keputusan yang tepat.

Selama ini aku sudah berusaha begitu keras untuk merobohkan tembok dan sekat-sekat yang mengurungku, sekarang justru ada tembok tinggi menjulang hingga langit terlihat semakin jauh. Oh, cobaan apa lagi ini? Aku tak pernah mencoba untuk menjadi sosok yang sempurna di hadapan orang lain. Aku tak mau membuat orang lain memuji atau menyanjungku. Dan aku merasa tak begitu mampu untuk melakukan tugas ini.

Seketika rasanya seperti ada sebuah jerat yang menahan langkahku. Seolah-olah aku tak boleh beranjak dari tempat yang aku coba tinggalkan. Kini aku semakin terperangkap dan tak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya aku bisa berbangga diri, tapi kenyataannya tidak. Aku tak menginginkan semua ini. Aku tak ingin sesuatu yang menjadikanku istimewa namun membuat batin tersiksa.

Jika dikaitkan dengan sebuah film, ini seperti permaian The Hunger Games. Aku tak pernah menginginkan hal tersebut, tapi keadaan memaksanya. Kemudian seolah-olah aku menjadi sesuatu yang berbeda dari yang lainnya. Sesuatu yang seharusnya bisa membuatku senang, tapi aku justru merasa terancam. Aku tak tahu harus bersikap bagaimana.

Seandainya kenyataan ini seperti permen yang jika dibiarkan di dalam mulut maka ia akan menghilang, tapi nampaknya tidak dengan yang sedang kualami. Setidaknya hal itu akan terus terjadi sampai tiga atau empat tahun ke depan. Aku tak menginginkannya. Aku tak mau terlalu lama. Karena tanggung jawab ini menjadikanku terlalu mudah untuk disalahkan oleh orang lain, bahkan oleh sesuatu yang aku tak mengerti.

Pundakku berat. Aku ingin meronta. Aku lelah dengan semua yang ada. Mereka memang tak mengerti, dan tidak akan pernah mencoba mengerti. Kini aku sendirian. Diterjang ombak besar dan tak punya tempat berpegangan. Aku takut. Aku tak mau terbawa arus dan semakin kehilangan jati diri. Aku tak mau pengembaraan jati diri selama ini sia-sia dan kembali nol. Aku tak mau itu.

Andaikan ada yang mau mengerti. Bahkan kadang perang dalam diri juga membuatku seperti orang yang tak waras hingga berfikir untuk lari ke masa lalu. Andai bisa.

Saturday 3 January 2015

Terlalu Banyak Kekecewaan

Libur telah tiba, hatiku gelisah...

Entahlah. Bahkan besok adalah hari libur terakhir sebelum akhirnya harus berangkat kerja lagi. Sangat disayangkan karena semua rencana liburan yang disusun jauh-jauh hari akhirnya harus dibatalkan begitu saja. Tak hanya satu atau dua rencana, tapi semuanya. Bayangkan saja bagaimana rasanya menghabiskan liburan tanpa ada jalan-jalan. Membosankan.

Selama hampir dua minggu ini hanya berdiam di dalam rumah, walau setidaknya di awal liburan bisa terisi dengan mengikuti kegiatan Jumbara. Tapi selebihnya, semua yang dilalui hanya seperti jalan tol. Lurus-lurus saja, tak ada apa-apa yang bisa ditemui.

Bangun tidur, mencuci. Menonton film di pagi hari. Memulai aktivitas di dunia maya. Menulis, menonton film, membaca novel. Semua hal yang biasanya menyenangkan dilakukan di hari minggu mendadak jadi membosankan saat dilakukan setiap hari. Aku tidak tahu bagaimana mengatakan perasaanku ini. Menyesal, sedih dan kesal juga. Aku hanya merasa seperti orang yang tidak bisa menggunakan waktu dengan baik.

Satu persatu rencana telah dibuat. Jadwal liburan disusun sedemikian rupa agar semua hari bisa terisi dengan hal-hal menyenangkan. Tapi rencana hanyalah rencana. Realita jelas begitu jauh darinya. Satu persatu rencana itu gagal. Menyakitkan sekali rasanya. Ketika sudah ada bayang-bayang menyenangkan akan berlibur ke sana ke mari tapi ternyata itu hanya ada di angan-angan dan lenyap ditelan malam.

Terlalu banyak yang memperlakukanku demikian. Sedikit menyakitkan memang. Tapi mau bagaimana lagi. Mungkin ini hanyalah bagian dari apa yang harus aku lalui selama menjalani hari-hari yang penuh misteri. Tak banyak yang bisa dilakukan. Tapi aku mendapat pelajaran berharga darinya. Mulai saat ini, berhenti untuk berharap sebuah rencana akan terlaksana. Berhenti pula menggantungkan harapan pada orang lain. Setidaknya masih ada sepasang kaki yang siap untuk melangkah menyusuri realita yang tak hanya berakhir pada tahap perencanaan.

Mulai berjalan. Dan berhenti mengharapkan. Itu jelas lebih baik menurutku.